* Artikel lainnya : MULTIMEDIA DALAM PEMBELAJARAN
Secara jujur harus diakui, keberadaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) selama ini terkesan “mandul” dan belum memiliki peran yang bermakna dalam melakukan perubahan substansial dan mendasar dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Yang menyedihkan, MGMP dinilai hanya merupakan “tangan panjang” birokrasi semacam Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) atau Dinas Pendidikan. MGMP lebih terkesan membela kepentingan birokrasi ketimbang memberdayakan guru. Sikap kritis dan responsif para guru pun dianggap sebagai “kerikil” yang harus disingkirkan. Yang lebih menyedihkan, MGMP dinilai hanya dijadikan “jembatan” bagi guru tertentu untuk memburu jenjang karier yang lebih tinggi, misalnya kepala sekolah atau jabatan kependidikan bergengsi lainnya. Tidak heran jika sikap sinis pun tak jarang ditimpakan kepada MGMP. MGMP lebih sering diplesetkan menjadi “Mulih Gasik Mampir Pasar” (pulang awal, kemudian mampir ke pasar) ketimbang Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Sebuah ungkapan yang menyiratkan makna betapa MGMP hanya sekadar tempat kumpul-kumpul dan ngrumpi yang jauh dari ingar-bingar dan dinamika untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dunia pembelajaran. Jadwal MGMP pun tak jarang dijadikan sebagai alasan pembenar dan apologi untuk mangkir dari tugas-tugas kedinasan di sekolah. Ya, sebuah tragedi bagi wadah profesi guru semacam MGMP.
Tak henti-hentinya guru dituding sebagai “biang kerok” merosotnya mutu sumber daya manusia ketika negeri ini mengalami “kebangkrutan” intelektual, sosial, dan moral di segenap lapis dan lini kehidupan. Guru dinilai “mandul” dalam menjalankan fungsinya sebagai “agen pembelajaran” sehingga gagal melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral.
Dengan nada ironis, Darmaningtyas (2001) pernah menyatakan bahwa profesi guru itu telah mati karena memang sengaja dimatikan agar guru tidak memiliki kemandirian dalam menyiapkan lahan, memberi pupuk, dan menyemai benih-benih yang sedang tumbuh. Tugas guru dalam penyiapan lahan, pemberian pupuk, dan penyemai senantiasa akan tergantung pada pihak yang memberikan komando atau instruksi.
Pernyataan Darmaningtyas hanyalah sepenggal kisah pilu yang mesti dihadapi (hampir) setiap guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Guru masih diposisikan sebagai “aparat” negara yang harus tunduk kepada sang pemberi komando. Akibatnya, profesi guru tidak lebih dari sekadar “tukang ajar” yang mesti tunduk pada “pesanan” penguasa. Lebih-lebih pada era otonomi daerah, di mana peran dan gerak-gerik guru lebih mudah diawasi dan dikontrol, guru semakin tak berkutik dalam melakukan inovasi-inovasi yang lebih “liar” dan bermakna bagi perkembangan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual siswa. Dalam kondisi yang sarat intervensi dan tekanan, bagaimana mungkin seorang guru mampu melahirkan generasi-generasi jempolan yang amat dibutuhkan dalam membangun peradaban bangsa yang berbudaya, terhormat, dan bermartabat?
Guru sebenarnya tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka juga harus memerankan dirinya sebagai –meminjam istilah Paulo Freire (2002)– pekerja kultural (cultural workers). Dalam konteks demikian, pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Dalam pandangan Freire, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
Ini artinya, guru perlu diberikan keleluasaan dalam mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, dan kompetitif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari.
Namun, kenyataan yang terjadi, selama ini dunia pembelajaran jauh dari idealisme semacam itu. Para siswa didik justru sering dikarantina dan dimasukkan ke dalam “kerangkeng” ilmu pengetahuan untuk menjadi penghafal kelas wahid sehingga menjadi asing dan buta terhadap persoalan-persoalan riil yang terjadi di sekelilingnya. Ruang kelas tak ubahnya sel penjara yang amat menyiksa; pengap dan singup; jauh dari sentuhan keilmuan yang dialogis, interaktif, menarik, efektif, dan menyenangkan bagi peserta didik. Kondisi pembelajaran semacam itu jelas tidak relevan dengan amanat UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas yang mewajibkan guru untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis (Pasal 40 ayat 2). Tidak heran apabila keluaran dunia persekolahan kita menjadi bebal dan tidak responsif terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Terlepas dari atmosfer politik yang sangat tidak menguntungkan bagi guru pada era otonomi daerah, secara jujur juga harus diakui, guru masih belum mampu tampil optimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya. Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial yang harus dimiliki oleh guru sebagai agen pembelajaran sebagaimana diamanatkan PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) masih dipertanyakan banyak kalangan.
Dari keempat kompetensi yang harus dimiliki guru, dua di antaranya dinilai masih menjadi problem serius dan krusial di kalangan guru, yakni kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Dari aspek kompetensi pedagogik, misalnya, guru dinilai belum mampu mengelola pembelajaran secara maksimal, baik dalam hal pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, maupun pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dari aspek kompetensi profesional, banyak guru yang dianggap masih gagap dalam menguasai materi ajar secara luas dan mendalam sehingga gagal menyajikan kegiatan pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa.
Dua kompetensi guru yang dinilai masih carut-marut itulah yang tampaknya kini tengah diupayakan secara serius oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dalam bentuk program pemberdayaan MGMP di jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (SMP dan SMA). Sejumlah dana block-grant dikucurkan oleh pemerintah untuk membantu guru dalam mengembangkan dan mengimplementasikan berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan proses pendidikan (khususnya proses pembelajaran dan manajamen).
Kucuran dana block-grant tersebut jelas memiliki makna tersendiri bagi organisasi profesi guru mata pelajaran itu, sebab selama ini (nyaris) tak ada sebuah institusi pun yang peduli dan mau melirik MGMP sebagai forum atau wadah yang memiliki peran strategis dalam memberdayakan profesionalisme guru mata pelajaran. Tidak berlebihan jika selama ini kiprah MGMP hanya sebatas “papan nama” yang bagus dalam visi dan misi, tetapi “miskin” implementasi program. MGMP yang diharapkan ikut mengurangi beban dan kegelisahan guru dalam memecahkan problem-problem pembelajaran pun hanya sebatas retorika. Bahkan, tidak jarang jajaran pengurus yang diharapkan mampu mengurus sekaligus menjadi pionir pengembangan mutu pembelajaran justru harus menjadi “urusan” di kalangan internal MGMP akibat terhadang oleh problem manajemen dan silang-sengkarutnya organisasi.
Jika dicermati, tampaknya dana menjadi problem serius bagi pengurus MGMP dalam menjalankan program, baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Untuk menyiasati minimnya dana, ada beberapa pengurus yang mencoba mencari “terobosan” penggalian sumber dana dengan mengajak teman-teman sejawat untuk sedikit kreatif mengembangkan ilmu dengan menerbitkan Lembar Kerja Siswa (LKS). Namun, LKS yang diterbitkan, diakui atau tidak, masih jauh dari standar mutu, bahkan cenderung mereduksi pengetahuan siswa karena hanya berisi rangkuman materi, latihan, dan tugas-tugas; tanpa pendalaman. LKS inilah yang sering dijadikan sebagai “bisnis terselubung” para pengurus yang sebagian keuntungannya dimanfaatkan untuk menggelar pertemuan, anjangsana, membeli jaket, atau studi banding. Dalam kondisi demikian, (hampir) tak ada waktu untuk menggelar kegiatan yang cerdas dan kreatif yang mampu memberdayakan profesionalisme guru. Sebagian besar waktu pengurus habis untuk mengurus distribusi LKS dan kalkulasi untung ruginya bersama penerbit. Bagaimana mungkin guru mata pelajaran mampu mengembangkan kompetensi pedagogik dan profesionalnya kalau tak pernah diajak untuk berkiprah mengikuti kegiatan-kegiatan MGMP yang cerdas, kreatif, dan mencerahkan?
Beruntunglah kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi dunia pendidikan semacam itu cepat direspon oleh para pengambil kebijakan. Melalui dana block-grant, problem dana yang selama ini menjadi kendala serius bagi pengurus dalam mengimplementasikan program setidaknya bisa sedikit teratasi. Para pengurus yang selama ini hanya sibuk mengurus LKS pun bisa mulai berpaling untuk benar-benar serius mepemberdayaan MGMP sehingga keberadaannya tidak hanya sekadar “papan nama”.
Persoalannya sekarang, mampukah program pemberdayaan MGMP yang dibiayai oleh dana block-grant itu mampu mendinamiskan kegiatan MGMP secara terus-menerus dan berkelanjutan? Mampukah MGMP tetap eksis dan bermakna ketika dana block-grant tak lagi bisa dikucurkan?
Menurut hemat saya, program pemberdayaan MGMP yang dibiayai dana block-grant perlu dimaknai sebagai “therapi kejut” yang akan terus menjadi pemicu dinamika MGMP dalam memberdayakan guru. Artinya, dana block-grant harus dipahami sebagai suntikan dan stimulan agar benar-benar mampu memosisikan MGMP sebagai wadah profesi yang vital dan strategis dalam memberdayakan guru. Dengan penafsiran demikian, seandainya dana block-grant tidak lagi mengucur, MGMP masih punya “gigi” untuk berkiprah menggelar berbagai program dan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan guru.
Oleh karena itu, perlu ada penajaman program yang riil dan praktis agar MGMP benar-benar mampu membantu guru dalam menguasai kompetensi sesuai standar pendidik yang disyaratkan dalam SNP. Paling tidak, ada enam agenda utama yang perlu segera digarap. Pertama, program memotivasi guru untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran dalam rangka meningkatkan keyakinan diri sebagai guru profesional. Kedua, agenda unjuk kemampuan dan kemahiran guru dalam melaksanakan pembelajaran sehingga dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.
Ketiga, agenda diskusi untuk membahas permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan mencari solusi alternatif pemecahannya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing, guru, kondisi sekolah, dan lingkungannya. Keempat, agenda penyebaran informasi teknis edukatif yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan kurikulum, metodologi, dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran yang bersangkutan.
Kelima, agenda saling berbagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, Diklat, penelitan tindakan kelas, referensi, atau kegiatan profesional lain yang dibahas bersama-sama. Keenam, agenda penjabaran dan perumusan kegiatan reformasi sekolah, khususnya reformasi pembelajaran di kelas (classroom reform) sehingga berproses pada reorientasi pembelajaran yang efektif, menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi siswa didik.
Yang tidak kalah penting, pemberdayaan MGMP harus dimaknai sebagai sebuah proses yang terus hidup, tumbuh, dan berkembang sepanjang waktu; tidak seperti “obor blarak” yang –meminjam idiom puitik Chairil Anwar– sekali berarti sesudah itu mati. Melalui pemberdayaan secara terus-menerus dan berkelanjutan, MGMP diharapkan mampu berperan sebagai reformator dalam classroom reform, mediator dalam pengembangan dan peningkatan kompetensi guru, agen “penyemangat” dalam inovasi manajemen kelas dan manajemen sekolah, serta kolaborator terhadap unit terkait dan organisasi profesi yang relevan.
Keberhasilan MGMP dalam memberdayakan diri akan sangat dipengaruhi oleh etos kerja segenap pengurus, anggota, dan guru mata pelajaran sejenis dalam membangun semangat kebersamaan dan persaudaraan dalam sebuah wadah yang memiliki karakter dan jatidiri, kemampuan membangun jaringan dengan unit terkait, serta kesanggupan untuk tetap steril dari berbagai godaan dan kepentingan. Kini, sudah tiba saatnya MGMP mendinamiskan gerak dalam mentransformasikan dirinya secara utuh dan total ke dalam hiruk-pikuk dunia pendidikan yang semakin rumit, kompleks, dan penuh tantangan
0 komentar:
Posting Komentar