Selasa, 19 Maret 2013
DEKADENSI MORAL SISWA KARENA GURU?
Beberapa hari yang lalu diskusi kecil kami adakah dengan teman sekelompok. Topiknya seputar dekadensi moral siswa. Topik tersebut mengalir begitu saja, tetapi terarah pada satu titik, "karena siapa...". Tentu berbagai opini teman muncul, dari beberapa opini yang dilontarkan teman menyinggung seputar kinerja guru sebagai pendidik.
Anak, siswa atau warga belajar sebagai objek sekaligus sobjek pendidikan menurutnya. Sebagai objek, dikaitkan dengan teori psikologi tabularasa, bahwa anak itu bak selembar kain putih yang akan berubah berwarna apapun tergantung prosesi pendidikan yang dialami. Sekolah sebagai lembaga formal menempati peran ke 2 setelah orang tua. Di sekolah yang berperan memberikan warna adalah guru. Lantas mengapa guru dikaitkan dengan mrosotnya moralitas siswa? Banyak alasan yang bisa diberikan, alasan ekstrim yang menarik untuk saya tulis adalah tugas guru antara mendidik dan sebagai administrator.
Secara konseptual guru memang pendidik, keberadaannya sebagai pendidik ditentukan oleh profesionalisme sesuai kualifikasi. Tugas sebagai pendidik dilakukan melalui proses belajar mengajar di kelas. Tugas ini buka hanya menuntut profesionlisme saja (baca: kemampuan menguasai materi dan menyampaikan) tetapi membutuhkan tugas pendamping sebagai seorang pembimbing. Pada sisi inilah terjadi proses luar biasa yang bernama belajar. Belajar sifatnya formal-situasional, artinya waktunya diatur melalui kurikulum dan terjadual dengan rapi. Terdapat program-program mengajar yang dibuat oleh guru dalam rangka memberikan pelayanan pendidikan yang baik.
Melihat posisi di atas, maka tugas mengajar bukan main-main. Tidak boleh diganggu dalam waktu tempo yang panjang hanya sekedar mengembangkan diri. Guru sudah berkembang profesionalismenya, jadi tinggal menerapkan. Jika dalam proses ini guru terganggu oleh hal-hal diluar konteks pendidikan, maka telah membuang tempo waktu yang merusak jadual yang ditetapkan, inilah hal yang sering terjadi namun dianggap lumrah dan biasa. Sebagai ilustrasi, beberapa guru mengikuti penataran sambung menyambung dengan alasan pengembangan diri. Sebagai akibat, tugas mengajar terabaikan. Tujuan-tujuan yang ditetapkan terlewati. Tidak ada hasil belajar, karena tidak terjadi proses. Keterampilan pengelolaan kelas terabaikan, murid menjadi tidak terarah dan mencari objek belajar sendiri. Objek paling gampang ditemui siswa adalah bermain sesuai minatnya. Akibatnya dapat dibayangkan, tujuan pembelajaran mustahil tercapai.
Akibat lain yang timbul adalah: membolos. Keluar sekolah sebelum habis masa belajar di kelas. Situasi ini dimanfaatkan oleh siswa melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan. Misal: main playstation, pergi ke tempat wisata setempat pada jam pelajaran. Akibat lain dari situasi ini, jika murid punya keinginan tetapi tidak punya modal dapat berakibat melakukan perbuatan kriminal, dan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk menarik dalam lingkaran-lingkaran ekstrim seperti minum-minuman keras dan mabuk, ekstasi dan pemakaian obat-obatan terlarang.
Tugas Administrasi dilakukan guru juga tidak tepat. Ada benturan antara pengembangan diri dan tugas mengajar, karena pemerintah yang memberikan tugas pengembangan diri tidak detail mengamati situasi proses belajar-mengajar. Ini terjadi karena sering berubahnya kurikulum. Kurikulum berubah membutuhkan perhatian besar bagi pendidik untuk mendalami. Profesionlisme kembali diuji, sehingga setiap saat disibukkan oleh pembuatan administrasi pembelajaran. Contohnya KTSP, kurikulum ini pada tingkat imlementasi belum sepenuhnya tuntas, ditengarai hanya 50 persen guru yang paham. Belum tuntas pemahaman KTSP berganti lagi menjadi kurikulum 2013. Dapat dibayangkan, kapan guru akan fokus menjalankan tugasnya?
Hal inilah yang oleh beberapa teman kelompok diskusi dijadikan alasan bahwa dekadensi moral disebabkan juga oleh guru yang tidak fokus menjalankan tugasnya karena kesibukan administrasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar