Jumat, 03 Agustus 2012
TUNJANGAN SERTIFIKASI, TEKANAN PSIKOLOGIS GURU
Tunjangan sertifikasi melalui proses Sertifikasi Guru Dalam Jabatan tak ubahnya sebagai "mainan" pemerintah untuk menggembirakan rekan-rekan guru. Sebagai profesi yang fundamental bagi kemajuan bangsa, guru terkelompokkan sebagai pegawai pemerintah yang rendah kesejahteraan. Rendahnya pendapatan dari gaji yang diterima membuat kelompok pegawai ini memberikan signifikansi produktifitas kerja yang selaras dengan yang didapat. Embel-embel "penyenang" guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa memang pernah menggembirakan, namun karena guru "juga manusia", maka embel-embel gelar itu sekarang harus ditepis habis kalau pada kenyataanya tidak memberikan pengaruh pada iklim kerja sesuai dengan tugas profesinya.
PERJUANGAN PANJANG ELEMEN ORGANISASI
Melalui perjuangan panjang dari berbagai elemen organisasi profesi seperti PGRI, FGSI dan lainnya membuahkan hasil, dikeluarkannya UU Guru dan Dosen. Implikasi dari UU itu akhirnya pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi. Melalui serangkaian mekanisme mulai dari Portofolio, PLPG, UKA-PLPG sebagai prasarat, maka ditetapkan kuota guru yang akan memperoleh tunjangan profesi. Kini semua belum tuntas. Ditengah proses penuntasan, sudah banyak mendapat tantangan dan berbagai tudingan miring pemberian tunjangan sertifikasi. Ini bisa terjadi karena dinilai tidak adanya signifikansi antara tunjangan yang diterima dengan peningkatan kinerja.
Berbagai elemen organisasi keguruan seperti PGRI terus mengawal kebijakan pemerintah itu. Mengawal sisi Juridis-formalnya dan mekanisme penyaluran dana tunjangan tersebut. Rupanya pemerintah jauh hari sudah memasang strategi untuk memupuskan/meniadakan (mungkin) tunjangan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari dasar konstitusional, pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan, pada pasal tersebut melalui berbagai proses pemerintah mematok anggaran untuk pendidikan 20% dari total APBN tiap tahunnya. Letak "kesalahan" yang akhirnya diprediksi sebagai upaya penggagalan sertifikasi adalah dari 20% tersebut ternyata didalamnya sudah include dana untuk tunjangan profesi bagi guru. Al hasil dari 20% anggaran pendidikan tersita 55% lebih untuk tunjangan. Mudah untuk menilai, bahwa akhrinya dari tunjangan yang diberikan tidak membawa peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
DIMANA TEKANAN PSIKOLOGISNYA
Sudah kita tahu, bahwa diberbagai daerah penerimaan tunjangan profesi dilakukan secara simultan tidak ajek. Ada yang per triwulan, per semester, ada juga yang tiap bulan. Totalitas nilai yang diterima oleh guru juga tidak penuh. Dari 12 bulan yang seharusnya menjadi hak mereka, hanya diterimakan 10 bulan, kemana yang 2 bulan? Anda berfikir sendiri sudah menemukan jawabannya.
Lantas mengapa timbul tekanan psikologis, seolah-olah guru "dipermainkan" oleh pemerintah? Letaknya adalah pada harapan guru. Guru sejak awal berharap, adanya tunjangan tersebut dibayangkan tiap bulan menyatu dengan gaji yang diterima. Sehingga guru tiap bulan tidak memikirkan nasib tunjangannya, karena tiap bulan sudah menyatu dengan gaji yang diterima. Kenyataan bahwa ini tidak sesuai harapan, banyak guru bahkan semua guru tiap hari bertemu dengan rekan sejawat selalu membicarakan "kapan turun" tunjangan tersebut. Nuasansa demikian sangat tidak bisa ditoleransi, karena secara nyata mengganggu mentalitas profesi guru. Ditengah kegembiraan yang mestinya mereka dapatkan, harus tersendat oleh kekhawatiran "jangan-jangan" tidak turun tunjangan yang mestinya diperoleh. Hal demikian menimbulkan sikap "su'udzon" pada dinas terkait. Sungguh berdampak pada hubungan antar lembaga, dan ditingkat personal pendidik/guru berdampak pada tidak tenangnya menjalankan tugas sehari-hari mengajar. Itulah mengapa guru seolah-olah dipermainkan oleh pemerintah dan secara psikologis tertekan dengan kondisi tersebut.
MENDAPAT KEPERCAYAAN PROFESI
Jika pemerintah ingin kualitas meningkat, maka konsekwensi dari kebijakan adalah memberikan tunjangan tepat waktu dan terjadual sesuai periode penggajian, artinya harus disatukan dengan pemberian gaji tiap bulan. Jika hal ini direalisasikan, yakinlah bahwa guru akan bisa memantapkan profesinya, mendidik. Terkait dengan akuntabilitas terhadap apa yang telah diberikan pemerintah pada guru, adakanlah controling ketat. Kontrol tersebut memantau kemajuan profesi, kualitas, dan hasil. Memberikan sanksipun dalam hal ini akan tidak menimbulkan sikap kontra. Akibatnya adalah pendidikan Indonesia berpacu dengan sikap profesionlitas guru, hingga dapat meningkatkan kualitas Pendidikan Nasional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar